Cerita Bebas dari Museum Nasional Jakarta -->

Kategori Berita

Iklan Semua Halaman

#

Iklan Halaman Posting

Cerita Bebas dari Museum Nasional Jakarta

Jakarta -- Sesosok hantu berjalan di sepanjang Jalan Merdeka Barat, Jakarta. Langkahnya terhenti ketika ia melihat seekor gajah kecil bermain di atas tiang sebuah pancuran. Pancuran itu tepat dimuka bangunan megah yang mirip kuil dewa Yunani dengan enam pilarnya yang besar. Sang hantu yang penasaran masuk ke pekarangan istana.

Menaiki anak tangga, sang hantu memasuki istana melalui pintu besar. Di hadapannya duduk bersila seekor gajah. Dua tangannya bertumpu di atas paha dan dua tangan lainnya diangkat ke atas seolah melambai menyambut sang hantu. Gajah itu memperkenalkan namanya, "Nama saya Ganesha, selamat datang".

Banyak makhluk-makhluk yang berdiri di belakang Ganesha dan di sekeliling ruanga itu. Makhluk-makhluk ini sangatlah aneh, ada gajah yang sedang duduk, seorang biksu yang sedang bersila, dewa-dewa kecil dan mereka semua mengelilingi ruangan besar. Dan mereka semua hanya berdiam diri.

Di ujung ruangan tanpa pintu sang hantu terkejut adanya sosok raksasa tinggi besar. Tingginya mencapai 4 meter.  Sang hantu menoleh ke Ganesha dan Ganesha memberitahunya bahwa dia adalah Raja Aditya Warman. Dialah sang Raja istana ini.

Aditya Warman berdiri di atas seorang anak laki-laki yang tidur di atas tengkorak kepala manusia yang berukuran 4 kali lipat tengkorak manusia biasa. Aditiya berdiri memegang sebuah belati dengan tangan kanannya yang ia letakan didepan dadanya. Figurnya sudah cukup menjelaskan siapa dia, pemimpin dengan kekuasaan mutlak.

Adityawarman menjadi Raja Malayapura pada tahun 1347 setelah ia memberontak dari Kerajaan Majapahit. Kerajaan Malayapura terletak di hulu sungai Batang Hari, sungai terpanjang di pulau Sumatera. Meskipun Majapahit  telah menyerang Malayapura dua kali namun serangan-serangan itu dapat dipatahkan oleh Malayapura.

Adityawarman menghadap ke halaman hijau yang hanya diisi satu sapi besar di tengah-tengah empat sapi yang membentuk persegi. Di sekeliling halaman terdapat makhluk-makhluk sejenis penghuni ruangan dimana Ganesha berada.

Di istana itu Adityawarman memiliki koleksi benda-benda antik hadiah dari negara-negara tetangga Indonesia seperti keramik dari Tiongkok, Jepang, Vietnam, Thailand. Beliau juga memiliki koleksi lengkap alat musik se-Nusantara Indonesia dari Aceh sampai Papua. Benda-benda itu disimpan dilantai satu istana ini.

Sang hantu menaiki menara lantai empat untuk melihat koleksi  emas milik raja. Keluar dari lift hantu sudah dihadang manusia penjaga berseragam putih bercelana hitam. "Jangan ambil foto ya," kata manusia itu. "Tenang saja mas," jawab sang hantu. Ruangan lemari kaca dengan backlight warna emas memenuhi pinggiran ruangan panjang itu.

Patung dewa berlapis emas, tombak berlapis emas, kalung, gelang, anting, cincin dan barang-barang lain yang berlapis emas. Di ruangan berlapis emas, semua itu tampak biasa bagi sang hantu. Namun ada benda yang menarik perhatiannya 2 keris yang berdiri diantara keempat keris yang diposisikan tertidur dalam lemari kaca ini.

Keris baru sembah ditemukan di Banjarmasin sebelum tahun 1865. Keris ini berwarna biru tua baik gagang maupun sarung kerisnya. Motif daun menghiasi sisi tengah sarung keris ini. Sedangkan pinggiran sarung keris dihiasi batu berlian bermotif bunga. Namun lebih banyak batu berlian kecil yang telihat pada gagang Keris Baru Sembah. Konon keris ini menjadi bukti seseorang berhak menjadi raja atau penguasa yang patut disembah.

Keris kedua bernama Keris Joko Piturun dari Madura. Keris ini amat mencuri hati karena batu berlian panjang 2 cm dan lebar 1 cm menghiasi sarung keris tersebut. Tak hanya itu, berlian itu dihiasi berlian-berlian setengah ukurannya berjumlah tujuh batu yang membentuk setengah lingkaran diatas berlian utama yang sangat besar.

Konon ketika keraton Pamekasan diserang prajurit Bali, keris ini terbang sendiri dan membunuh prajurit Bali yang mencoba lari ke kapal. Dengan berlian sebesar itu keris ini sendiri ditaksir miliaran rupiahnya. Jika ditambah nilai sejarahnya maka nilainya tak ternilai.

Demikianlah cerita dari hasil kunjungan ke Museum Nasional Jakarta.

Penulis:

Nicholas Rhino